Showing posts with label ASKEP. Show all posts
Showing posts with label ASKEP. Show all posts

Wednesday, May 22, 2013

ASKEP PASIEN DENGAN HYDROCEPHALUS


ASKEP PASIEN DENGAN HYDROCEPHALUS ( Materi Dasar Keperawatan )
A. PENGERTIAN 
  • Hidrocefalus adalah keadaan patologik otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal dengan adanya tekanan intrakranial (TIK) yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengeluarkan liguor (Depkes RI, 1989)
  • Hidrocefalus adalah kelebihan cairan cerebrospinalis di dalam kepala. Biasanya di dalam sistem ventrikel atau gangguan hidrodinamik cairan liguor sehingga menimbulkan peningkatan volume intravertikel (Setyanegara, 1998)
  • Hidrocefalus adalah keadaan patologik otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinalis di dalam kepala (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat ruangan tempat mengalirnya CSS (Ngastiyah, 1997)
  • Hidrocefalus adalah suatu kondisi dimana terjadi pembesaran sistem ventrikular akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan cerebrospinal (CSF: Cerebrospinal Fluid).(Ricard & Victor, 1992)
  • Jadi Hidrocefalus merupakan suatu keadaan patologik otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinalis sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan cerebrospinal.

TIPE HIDROCEFALUS
Menurut Ngatiyah (1997) Hidrocefalus pada bayi dapat dibagi menjadi dua yaitu

  1. Konginetal : Hidrocefalus sudah diderita sejak bayi dilahirkan
  2. Di dapat : Bayi/anak mengalaminya pada saat sudah besar dengan penyebabnya adalah penyakit-penyakit tertentu misalnya trauma kepala yang menyerang otak dan pengobatannya tidak tuntas.
Menurut Ngastiyah (1997) Hidrocefalus dapat dibagi dua yaitu:
  1. Hidrocefalus obstruksi ---> Tekanan CSS yang tinggi disebabkan oleh obstruksi pada salah satu tempat antara pembentukan oleh plexus koroidalis dan keluranya dari ventrikel IV melalui foramen lusckha dan magendie.
  2. Hidrocefalus komunikans--->Bila tekanan CSS yang meninggi tanpa penyumbatan sistem ventrikel.

B. ETIOLOGI
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi adalah:
a. Kelainan bawaan

  1. Stenosis Aquaductus sylvii --> merupakan penyebab yang paling sering pada bayi/anak (60-90%) Aquaductus dapat berubah saluran yang buntu sama sekali atau abnormal ialah lebih sempit dari biasanya. Umumnya gejala Hidrocefalus terlihat sejak lahir/progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
  2. Spina bifida dan cranium bifida --> Biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan cerebelum, letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian/total.
  3. Sindrom Dandy-Walker ---> Merupakan atresia congenital foramen luscha dan mengendie dengan akibat Hidrocefalus obstruktif dengan pelebran sistem ventrikel terutama ventrikel IV sehingga merupakan krista yang besar di daerah losa posterior.
  4. Kista Arachnoid ---> Dapat terjadi conginetal membagi etiologi menurut usia
  5. Anomali pembuluh darah
c. Infeksi
d. Perdarahan
e. Neoplasma


C. PATOFISIOLOGI
Hidrocefalus menurut Avril B. Kligmen (1999) terjadi sebagi akibat dari 3 mekanisme yaitu: produksi liguor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran liguor dan peningkatan tekanan sinus venosa sebagai, konskwensi dari tiga mekanisme ini adalah peningkatan TIK sebagai upayamempertahankan keseimbangan sekresi dan observasi berbeda-beda setiap saat selama perkembangan Hidrocefalus. Dialatasi ini terjadi sebagai akibat dari:
Kompresi sistem serebrovaskular
Redistribusi dari liquor serebrospinalis atau cairan ekstra selular atau keduanya di dalam sistem susunan saraf pusat.
Perubahan mekanis dari otak
Efek tekanan denyut liquor cerebrospinalis
Hilangnya jaringan otak
Pembesaran volume tengkorak akibat adanya regangan abnormal pada sutura kranial.

PATHWAY Keperawatan Hidrocefalus

Anda tinggal mendownload Pathway Klik Di link di bawah ini .
Download Pathway Hidrocephalus


D. TANDA DAN GEJALA
Gejala yang nampak dapat berupa (Ngastiyah, 1997; Depkes;1998)

  1. TIK yang meninggi: muntah, nyeri kepala, edema pupil saraf otak II
  2. Pada bayi biasanya disertai pembesaran tengkorak
  3. Kepala bayi terlihat lebih besar bila dibandingkan dengan tubuh
  4. Ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya teraba tegang dan mengkilat dengan perebaran vena di kulit kepala
  5. Sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar
  6. Terdapat sunset sign pada bayi (pada mata yang kelihatan hitam-hitamnya, kelopak mata tertarik ke atas)
  7. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang suborbita
  8. Sklera mata tampak di atas iris
  9. Pergerakan mata yang tidak teratur dan nistagmus tak jarang terdapat
  10. Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran motorik atau kejang-kejang, kadang-kadang gangguan pusat vital

KOMPLIKASI
1. Peningkatan TIK
2. Kerusakan otak
3. Infeksi: septisemia, infeksi luka nefritis, meningitis, ventrikulitis, abses otak
4. Emboli otak
5. Obstruksi vena kava superior
6. Shunt tidak berfungsi dengan baik akibat obstruksi mekanik
7. Fisik dan intelegent kurang dari normal, gangguan penglihatan
8. Kematian

Komplikasi Hidrocefalus menurut Prasetio (2004)
1. Peningkatan TIK
2. Pembesaran kepala
3. kerusakan otak
4. Meningitis, ventrikularis, abses abdomen
5. Ekstremitas mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas kulit menurun
6. Kerusakan jaringan saraf
7. Proses aliran darah terganggu

E. PENATALAKSANAAN
Penanganan hidrocefalus masuk pada katagori ”live saving and live sustaining” yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan hidrocefalus harus dipenuhi yakni:

  1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan serebrospinal.
  2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi caira serebrospinal dengan tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarakhnoid
  3. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni: * Drainase ventrikule-peritoneal (Holter, 1992; Scott, 1995;Anthony JR, 1972)
    * Drainase Lombo-Peritoneal
    * Drainase ventrikulo-Pleural (Rasohoff, 1954)
    * Drainase ventrikule-Uretrostomi (Maston, 1951)
    * Drainase ke dalam anterium mastoid
    * Mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi sekunder dan sepsis.
  4. Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selang pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan, antara ujung selang di kepala dan perut dihubiungakan dengan selang yang ditanam di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.
  5. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus. VRIES (1978) mengembangkan fiberoptik yang dilengkapi perawatan bedah mikro dengan sinar laser sehingga pembedahan dapat dipantau melalui televisi.

    ASUHAN KEPERAWATAN HIDROCEFALUS
    Untuk selengkapnya tentang asuhan keperawatan Hidrocefalus anda tinggal download di link yang telah saya sediakan di bawah ini
    Download Askep Hidrocepalus
    via Ziddu

    DAFTAR PUSTAKA
    Carpenito, Lynda Juall. (1997). Diagnosa Keperawatan : buku saku. edisi 6. Jakarata : EGC
    Ganong. (1998). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi: 17. Jakarta: EGC
    Johnson, marion, dkk. (2000). Nursing Outcomes Clasification (NOC). Missouri: Mosby
    Mc. Clostrey, Deane C, & Bulechek Glorid M. (1996). Nursing Intervention Clasification (NIC). Missouri: Mosby
    Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan 2005-2006. Alih bahasa dan editor: Budi Santosa. Jakarta: Prima Medika
    Price. (1995). Patofisiologi: Proses-proses Penyakit Edisi: 4, Editor peter Anugrah Buku II. Jakarta: EGC
    Wilkinson, M, Judith; (1997) . Buku saku diagnosis keperawatan dengan NIC dan NOC . Edisi 7 . Jakarta : EGC.
Download Askep Hidrocepalus

Ikterus Neonatorum

Ilustrasi (Google)
PENGERTIAN:
Ikterus Neonatorum Adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa oleh karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pada hyperbilirubinemia neonatorum yang diperhitungkan terutama adalah bilirubin indirek (I).
1. Harga normal : Bilirubin dalam darah ----- :
  • Direk ( D ) < 1,0 mg % 
  • Indirek ( I ) < 2 mg % 
2. Harga patologis : Bilirubin dalam darah -- :
  • I : bayi aterm > 12 mg %
  • I : bayi prematur > 10 mg %
  • Atau peningkatan kadar 0,2 mg/jam atau 4 mg/hari.

PATOFISIOLOGI :

  • Pemecahan eritrosit yang berlebihan.
  • Gangguan clearance ( transport ) metabolisme, gangguan konjugasi
  • Gangguan ekskresi bersama air.

GEJALA KLINIK :
Ikterus Fisiologis :

  • Tampak pada hari ke III – IV
  • Bayi tampak sehat ( normal )
  • Kadar < 12 mg % .
  •  Menghilang paling lambat 10 – 14 hari
  •  Tidak ada faktor resiko
  • Sebab : proses fisiologis ( berlangsung dalam kondisi fisiologis ).
Ikterus Patologis :
  • Timbul pada umur < 36 jam
  • Cepat berkembang
  • Bisa disertai anemia
  • Menghilang lebih lama > 2 minggu
  • Ada faktor resiko
  • Dasar : proses patologis.

ETIOLOGI / faktor resiko :
A. Haemolisis/ Produksi meningkat :

  • Golongan darah ibu – bayi tidak serasi ( Rh, ABO )
  • Haematoma, memar
  • Spherositosis kongenital.
  • Enzim G6 PD rendah

B. Gangguan transport :

  • Albumin rendah ( prematur, kurang gizi )
  • Ikatan kompetitif dengan albumin ( obat-obat atau bahan lain )
  • Kemampuan mengikat albumin rendah ( asidosis ).
C. Gangguan konjugasi :
  • Enzym glukoronil transferase belum adekuat ( prematur, kongenital ).
D. Gangguan ekskresi :
  • Obstruksi saluran empedu ( cholestasis )
  • Obstruksi usus ( sirkulasi enterohepatik meningkat ).

PENATALAKSANAAN :
Prinsip :
A. Menghilangkan penyebab
B. Pencegahan peningkatan kadar bilirubin.

Cara :
1. Meningkatkan kerja enzym : Phenobarbital 1 – 2 mg/ kg BB/ dosis 2 – 3 kali/ hari ( 3 hari ).
2. Merubah bilirubin tidak larut dalam air menjadi larut :
Fototerapi--> isomunisasi --> diharapkan ekskresi bertambah.
3. Bilirubin darah dibuang : tranfusi tukar.

Pedoman Pemilihan terapi :


EFEK SAMPING PENGOBATAN :
1. Phenobarbital :
  • Banyak tidur.
2. Foto terapi :
a. Segera :
  • Suhu tubuh hipotermia/ hipertermia
  • Kulit terbakar
  • Insensible water loss meningkat
  • Evakuasi usus lebih cepat, diare
  • Gelisah.
b. Lama :
  • Perubahan DNA.

3. Tranfusi tukar :
  • Infeksi
  • Jantung
  • Sirkulasi hipervolemia/ hipovolemia
  • Elektrolit hipocalcemia
  • Metabolik.

MONITOR :
  • Tanda vital
  • Gejala saraf pusat
  • Hb atau PCV
  • Serum bilirubin
  • Status hidrasi ( turgor kulit )
  • Efek samping pengobatan.

KOMPLIKASI :
A. SSP ( encephalopathy / Kern Ikterus )
Derajat I :
  • Lethargi
  • Malas minum
  • Hipotoni
Derajat II :
  • Respon meningkat ( iritable )
  • Tonus meningkat
  • Kejang
  • Hipertermia
  • Bayi bisa meninggal
Derajat III :
  • Bila tertolong bayi tampak normal/ asymptomatik
Derajat IV :
  • Opistotonus
  • Jangka lama terjadi gejala berupa gangguan motorik, pendengaran ( cerebral palsy ).
B. Saluran cerna :
  • Diare akibat hiperosmolar dalam usus.

PROGNOSA :
  • Tanpa komplikasi, prognosa baik.
  • Dengan komplikasi, co ad vitam cukup baik, co ad sanationum kurang baik

HERNIA

ASKEP HERNIA
Tinjauan Medis
A. Definisi
  • Hernia adalah suatu benjolan/penonjolan isi perut dari rongga normal melalui lubang kongenital atau didapat(1).
  • Hernia adalah penonjolan usus melalui lubang abdomen atau lemahnya area dinding abdomen (3).
  • Hernia Is the abnormal protrusion of an organ, tissue, of part of an organ through the structure that normally cotains it (1).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah penonjolan dari isi perut dalam rongga normal melalui lubang yang kongenital ataupun didapat.

B. Etiologi
Hernia dapat terjadi karena lubang embrional yang tidak menutup atau melebar, atau akibat tekanan rongga perut yang meninggi (2).




C. Klasifikasi

  1. Menurut/tofografinya : hernia inguinalis, hernia umbilikalis, hernia femoralis dan sebagainya.
  2. Urut isinya : hernia usus halus, hernia omentum, dan sebagainya.
  3. Menurut terlibat/tidaknya : hernia eksterna (hernia ingunalis, hernia serofalis dan sebagainya). Hernia inferna tidak terlihat dari luar (hernia diafragmatika, hernia foramen winslowi, hernia obturatoria).
  4. Causanya : hernia congenital, hernia traumatika, hernia visional dan sebagainya.
  5. Keadaannya : hernia responbilis, hernia irreponibilis, hernia inkarserata, hernia strangulata.
  6. Nama penemunya :Hernia Petit (di daerah lumbosakral) ;Hernia Spigelli (terjadi pada lenea semi sirkularis) di atas penyilangan rasa epigastrika inferior pada muskulus rektus abdominis bagian lateral;Hernia Richter : yaitu hernia dimana hanya sebagian dinding usus yang terjepit.
  7. Beberapa hernia lainnya :

Hernia Pantrolan adalah hernia inguinalis dan hernia femoralis yang terjadi pada satu sisi dan dibatasi oleh rasa epigastrika inferior;
Hernia Skrotalis
adalah hernia inguinalis yang isinya masuk ke skrotum secara lengkap;

Hernia Littre adalah hernia yang isinya adalah divertikulum Meckeli.
D. Tanda dan Gejala
Umumnya penderita menyatakan turun berok, burut atau kelingsir atau menyatakan adanya benjolan di selakanganya/kemaluan.benjolan itu bisa mengecil atau menghilang, dan bila menangis mengejan waktu defekasi/miksi, mengangkat benda berat akan timbul kembali. Dapat pula ditemukan rasa nyeri pada benjolan atau gejala muntah dan mual bila telah ada komplikasi.
E. Pathways
Untuk Melihat Pathway Keperawatan klik di Pathway Hernia

F. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diameter anulus inguinalis
G. Penatalaksanaan (2)
  • Pada hernia inguinalis lateralis reponibilis maka dilakukan tindakan bedah efektif karena ditakutkan terjadi komplikasi.
  • Pada yang ireponibilis, maka diusahakan agar isi hernia dapat dimasukkan kembali. Pasien istirahat baring dan dipuasakan atau mendapat diit halus. Dilakukan tekanan yang kontinyu pada benjolan misalnya dengan bantal pasir. Baik juga dilakukan kompres es untuk mengurangi pembengkakan. Lakukan usaha ini berulang-ulang sehingga isi hernia masuk untuk kemudian dilakukan bedah efektif di kemudian hari atau menjadi inkarserasi.
  • Pada inkerserasi dan strangulasi maka perlu dilakukan bedah darurat.

Tindakan bedah pada hernia ini disebut herniotomi (memotong hernia dan herniorafi (menjahit kantong hernia). Pada bedah efektif manalis dibuka, isi hernia dimasukkan,kantong diikat dan dilakukan “bassin plasty” untuk memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
Pada bedah darurat, maka prinsipnya seperti bedah efektif. Cincin hernia langsung dicari dan dipotong. Usus dilihat apakah vital/tidak. Bila tidak dikembalikan ke rongga perut dan bila tidak dilakukan reseksi usus dan anastomois “end to end”.

I. DAFTAR PUSTAKA
  1. Core Principle and Practice of Medical Surgical Nursing. Ledmann’s.
  2. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II. Medica Aesculaplus FK UI. 1998.
  3. Keperawatan Medikal Bedah. Swearingen. Edisi II. EGC. 2001.
  4. Keperawatan Medikal Bedah. Charlene J. Reeves, Bayle Roux, Robin Lockhart. Penerjemah Joko Setyono. Penerbit Salemba Media. Edisi I. 2002.
  5. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar UI. FK UI.

Asuhan Keperawatan Hiperemesis Gravidarum

Askep Hiperemesis Gravidarum
A. Pengertian
Hiperemesis Gravidarum adalah mual dan muntah berlebihan pada wanita hamil sampai mengganggu pekerjaan sehari-hari karena keadaan umumnya menjadi buruk, karena terjadi dehidrasi. (Rustam Mochtar, 1998)
Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tetapi dapat timbul setiap saat dan bahkan malam hari. Gejala-gejala ini kurang lebih terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid dan berlangsung selama kurang lebih 10 minggu.
Hiperemesis Gravidarum (vomitus yang merusak dalam kehamilan) adalah nausea dan vomitus dalam kehamilan yang berkembang sedemikian luas sehingga terjadi efek sistemik, dehidrasi dan penurunan berat badan. (Ben-Zion, MD, hal : 232)
Hiperemesis diartikan sebagai muntah yang terjadi secara berlebihan selama kehamilan. (Hellen Farrer, 1999, hal : 112)

B. Etiologi
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Frekuensi kejadian adalah 3,5 per 1000 kehamilan. Faktor-faktor predisposisi yang dikemukakan : ( Rustan Mochtar, 1998 )
1.Faktor organik, yaitu karena masuknya vili khoriales dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat kehamilan serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan-perubahan ini serta adanya alergi, yaitu merupakan salah satu respon dari jaringan ibu terhadap janin.
2.Faktor Psikologik.
Faktor ini memegang peranan penting pada penyakit ini. Rumah tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggungan sebagai ibu, dapat menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian kesukaran hidup.
3.Faktor endokrin lainnya : hipertiroid, diabetes, peningkatan kadar HCG dan lain-lain.

C. Patologi
Pada otopsi wanita meninggal karena hiperemesis gravidarum diperoleh keterangan bahwa terjadinya kelainan pada organ-organ tubuh adalah sebagai berikut
1. Hepar ? pada tingkat ringan hanya ditemukan degenerasi lemak sentrilobuler tanpa nekrosis.
2. Jantung ? jantung atrofi, menjadi lebih kecil dari biasa. Kadang kala dijumpai perdarahan sub-endokardial.
3. Otak ? terdapat bercak-bercak perdarahan pada otak dan kelainan seperti pada ensepalopati Wirnicke.
4. Ginjal ? ginjal tampak pucat dan degenerasi lemak dapat ditemukan pada tubuli kontorti.

D. Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen yang biasa terjadi pada trimester I. Bila terjadi terus-menerus dapat mengakibatkan dehidrasi dan tidak imbangnya elektrolit dengan alkalosis hipokloremik.
Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena okisidasi lemak yang tak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseto-asetik, asam hidroksida butirik, dan aseton dalam darah. Muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida darah turun. Selain itu, dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang pula tertimbunnya zat metabolik yang toksik. Di samping dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lendir esofagus dan lambung ( sindroma mollary-weiss ), dengan akibat perdarahan gastrointestinal.

E. Tanda dan Gejala Hiperemesis Gravidarum
Batas mual dan muntah berapa banyak yang disebut hiperemesis gravidarum tidak ada kesepakatan. Ada yang mengatakan, bila lebih dari sepuluh kali muntah. Akan tetapi, apabila keadaan umum ibu terpengaruh dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum menurut berat ringannya gejala dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1.Tingkatan I (Ringan)
a. Mual muntah terus-menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita.
b. Ibu merasa lemah.
c. Nafsu makan tidak ada.
d. Berat badan menurun.
e. Merasa nyeri pada epigastrium.
f. Nadi meningkat sekitar 100 per menit.
g. Tekanan darah menurun.
h. Turgor kulit berkurang.
i. Lidah mengering.
j. Mata cekung.
2.Tingkatan II (sedang)
a. Penderita tampak lebih lemah dan apatis.
b. Turgor kulit mulai jelek.
c. Lidah mengering dan tampak kotor.
d. Nadi kecil dan cepat.
e. Suhu badan naik ( dehidrasi ).
f. Mata mulai ikteris.
g. Berat badan turun dan mata cekung.
h. Tensi turun, hemokonsentrasi, oliguria, dan kontipasi.
i. Aseton tercium dari hawa pernafasan dan terjadi asetonuria.
3.Tingkatan III ( Berat )
a. Keadaan umum lebih parah (kesadaran menurun dari somnolen sampai koma).
b. Dehidrasi hebat.
c. Nadi kecil, cepat dan halus.
d. Suhu meningkat dan tensi turun.
e. Terjadi komplikasi fatal pada susunan saraf yang dikenalsebagai ensepalopati Wernicke, dengan gejala nistagmus, diplopia, dan penurunan mental.
f. Timbul ikterus yang menunjukkan adanya payah hati.

F. Penanganan
1. Pencegahan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum diperlukan dengan jalan memberikan penerapan tentang kehamiloan dan persalinan sebagai suatu proses yang fisiologi. Hal itu dapat dilakukan dengan cara :
a. Memberikan keyakinan bahwa mual dan muntah merupakan gejala yang fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan berumur 4 bulan.
b. Ibu dianjurkan untuk mengubah pola makan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah kecil tetapi sering.
c. Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi dianjurkan untuk makan roti kering atau biskuit dengan teh hangat.
d. Hindari makan yang berminyak dan berbau lemak.
e. Makan makanan dan minuman yang disajikan jangan terlalu panas ataupun terlalu dingin.
f. Usahakan defekasi teratur.
2. Terapi obat-obatan
Apabila dengan cara di atas keluhan dan gejala tidak berkurang diperlukan pengobatan.
a. Tidak memberikan obat yang teratogen.
b. Sedetiva yang sering diberikan adalah Phenobarbital.
c. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6.
d. Anthistaminika seperti dramamin, avomin.
e. Pada keadaan berat, antiemetik seperti disiklomin hidrokhloride atau khlorpromasin.
3. Hiperemesis gravidarum tingkatan II dan III harus dirawat inap di rumah sakit.
Adapun terapi dan perawatan yang diberikan adalah sebagai berikut :
a. Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi cerah, dan peredaran udara baik. Jangan terlalu banyak tamu, kalau perlu hanya perawat dan dokter saja yang boleh masuk. Catat cairan yang keluar dan masuk. Kadang-kadang isolasi dapat mengurangi atau menghilangkan gejala ini tanpa pengobatan.
b. Terapi psikologik
Berikan pengertian bahwa kehamilan adalah suatu hal yang wajar, normal, dan fisiologis, jadi tidak perlu takut dan khawatir. Yakinkan penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan dan dihilangkan masalah atau konflik yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini.
c. Terapi parental
Berikan cairan parental yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam fisiologik sebanyak 2 -3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambah kalium dan vitamin, khususnyvitamin B kompleks dan vitamin C dan bila ada kekurangan protein, dapat diberikan pula asam amino secara intravena. Buat dalam daftar kontrol cairan yang masuk dan dikeluarkan. Berikan pula obat-obatan seperti yang telah disebutkan di atas.
d. Terminasi kehamilan
Pada beberapa kasus keadaan tidak menjadi baik, bahkan mundur. Usahakan mengadakan pemeriksaan medik dan psikiatrik bila keadaan memburuk. Delirium, kebutaan, takhikardi, ikterius, anuria, dan perdarahan merupakan manifestasi komplikasi organik. Dalam keadaan demikian perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan. Keputusan untuk melakukan abortus terapeutik sering sulit diambil, oleh karena di satu pihak tidak boleh dilakukan terlalu cepat, tetapi di lain pihak tidak boleh menunggu sampai terjadi gejala irreversibel pada organ vital.

G. Prognosis
Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat mamuaskan. Penyakit ini biasanya dapat membatasi diri, namun demikian pada tingkatan yang berat, penyakit in dapat mengancam jiwa ibu dan janin.

I. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Pengeluaran nutrisi yang berlebihan dan intake kurang.
Tujuan :
a. Menjelaskan komponen diet seimbang prenatal, memberi makanan yang mengandung vitamin, mineral, protein dan besi.
b. Mengikuti diet yang dianjurkan.
c. Mengkonsumsi suplemen zat besi / vitamin sesuai resep.
d. Menunjukkan penambahan berat badan yang sesuai ( biasanya 1,5 kg pada ahir trimester pertama )
Intervensi :
a. Tentukan keadekuatan kebiasaan asupan nutrisi dulu / sekarang dengan menggunakan batasan 24 jam. Perhatikan kondisi rambut, kulit dan kuku.
b. Dapatkan riwayat kesehatan ; cacat usia ( khususnya kurang dari 17 tahun, lebih dari 35 tahun).
c. Pastikan tingkat pengetahuan tentang kebutuhan diet.
d. Berikan informasi tertulis / verbal yang tepat tentang diet pranatal dan suplemen vitamin / zat besi setiap hari.
e. Evaluasi motivasi / sikap dengan mendengar keterangan klien dan meminta umpa balik tentang informasi yang di berikan.
f. Tanyakan keyakinan berkenaan dengan diet sesuai budaya dan hal – hal tabu selama kehamilan.
g. Perhatikan adanya pika/mengidam. Kaji pilihan bahwa bukan makanan dan itngkat moitvasi untuk memakannya.
h. Timbang berat badan klien ; pastikan berat badan pregravid biasanya. Berikan informasi tentang penambahan prenatal yang optimum.
i. Tinjau ulang frekuensi dan beratnya mual/muntah. Kesampingkan muntah pernisiosa (hiperemesis gravidarum)
j. Pantau kadar hemoglobin (Hb)/Hematokrit (Ht)
k. Tes urine terhadap aseton, albumin, dan glukosa.
l. Ukur pembesaran uterus.
m. Buat rujukan yang perlu sesuai idikasi ( misal pada ahli diet,pelayanan social )
n. Rujuk pada program makanan Wanita, Bayi, Anak – anak dengan tepat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d kehilangan cairan.
Tujuan :
a. Mengidentifikasi dan melakukan tindakan untuk menurunkan frekuensi dan keparahan mual/muntah.
b. Mengkonsumsi cairan dengan jumlah yang sesuai setiap hari.
c. Mengidenifikasi tanda-tanda dan gejala-gejala dehidrasi yang memerlukan tindakan.
Intervensi :
a. Auskultasi denyut jantung janin ( DJJ ).
b. Tenutkan frekuensi/ beratnya mual/muntah.
c. Tinjau ulang riwayat kemungkinan masalah medis lain (miasal; ulkus peptikum, gastritis, kolesistisis).
d. Anjurkan klien memperahankan masukan/keluaran, tes urin,dan penurunan bert badan setiap hari.
e. Kaji suhu dan turgor kulit, membrane mukosa, tekanan darah (TD), suhu, masukan/keluaran,daan berat jenis urine. Timbang berat badan klien daan banidngkan dengan standar.
f. Anjurkan penigkatan mauskan minian berkarbonat, makan enam kali sehari dengan jumlah yang sedikit, dan makanan tinggi karbohidrat (mis; popcorn,roti kering sebelum bangun tidur).
3. Gangguan citra diri b.d perubahan penampilan sekunder akibat kehamilan
Tujuan :
a. Membuat gambaran diri lebih nyata
b. Mengakui diri sebagai individu
c. Menerima tanggung jawab untuk tindakan sendiri.
Intervensi :
a. Buat hubungan terapeutik perawat/pasien
b. Tingkatkan Konsep diri tanpa penilaian moral
c. Biarkan pasien menggambarkan dirinya sendiri.
d. Nyatakan aturan dengan jelas tentang jadwal penimbangan,tetap melihat waktu makan dan minum obat, dan konsekuensi bila tak mengikuti aturan.
e. Beri respon terhadap kenyataan bila pasien membuat penyataan tidak relistis seperti “ saya meningkatkan berat badan ;jadi saya benar-benar tidak apa-apa “.
f. Sadari reaksi sendiri terhadap perilaku pasien. Hindari perdebatan.
g. Bantu pasien untuk melakuakn kontrol pada area selain dari makan/penurunan berat badan. Missal : manajemen aktivitas harian, pilihan kerja/kesenangan.
4. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan tubuh, penurunan metabolisme sel.
Tujuan :
a. Melaporkan peningkatan rasa sejahtera/tingkat energi.
b. Mendemonstrasikan peningkatan aktivitas fisik yang dapat diukur.
Intervensi :
a. Pantau respon fisiologis terhadap aktivitas, missal ; perubahan TD atau frekuensi jantung/pernafasan.
b. Buat tujuan aktivitas realistis dengan pasien.
c. Rencanakan perawatan untuk memungkinkan periode istirahat.Jadwalkan aktivitas untuk periode bila pasien mempunyai banyak energi. Libatkan pasien/orang terdekat dalam perencanaan jadwal.
d. Dorong pasien untuk melakukan kapanpun mungkin, misal ; perawatan diri, bangin dari kursi, berjalan.
e. Beriakn latihan rentang gerak pasif/aktif pada pasien yang terbaring di tempat tidur.
f. Pertahankan tempat tidur pada posisi rendah, singkirkan perabotan, bantu ambulasi.
g. Berikan O2 suplemen sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA (Materi Dasar Keperawatan )

- Doengoes, Marilyn E. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. Jakarta : EGC
- Wolf, weitzel,Fuerst.1984. Dasar – Dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Gunung Agung.
- Hamilton, Persis Mary. 1995. Dasar – Dasar Keperawatan Maternitas edisi 6. Jakarta : EGC
- Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obsteri jilid I. Jakarta : EGC.
- Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid I. Jakarta : Media Acculapius.
- Teber, Ben-Zian. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC
- Prawiroharjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta ; Tridasa Printer.


ASKEP HERNIA NUKLEUS PULPOSUS (HNP)

ASKEP HERNIA NUKLEUS PULPOSUS (HNP)
Pengertian
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)
Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)
Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.
Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.
Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.

Manifestasi Klinis
Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. MRI : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada MRI
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.
Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.
Macam :

  • Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
  • Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
  • Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
  • Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.

Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.
Intervensi
1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot

  • Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10
  • Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang
  • Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi
  • Bantu pemasangan brace / korset
  • Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
  • Ajarkan teknik relaksasi
  • Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
  • Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
  • Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
  • Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.
  • Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi
  • Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.
  • Kolaborasi : analgetik
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
  • Kaji tingkat ansietas pasien
  • Berikan informasi yang akurat
  • Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.
  • Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
  • Libatkan keluarga
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis
  • Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan
  • Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong
  • Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.
  • Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.
  • Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
  • Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002
2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993

Asuhan Keperawatan Menarik Diri

Isolasi sosial adalah rasa terisolasi, tersekat, terkunci, terpencil dari masyarakat, rasa ditolak, tidak disukai oleh orang lain, rasa tidak enak bila berkumpul dengan orang lain, lebih suka menyendiri. Sedangkan menarik diri adalah menunjukkan tingkah laku dan sikap dari “isolasi” sebagai pembelaan psikologik (WF Maramis, 2003).
Penarikan diri (withdrawal) adalah suatu tindakan pelepasan diri baik dari perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri). Penarikan diri sebagai pola tingkah laku (Direktorat Kesehatan jiwa, 1983).
Caplan dkk (2001) mengemukakan individu yang menarik diri dari lingkungan umumnya mempunyai gangguan konsep diri dan proses pikir.

Perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain ( Rawlins,2003 ).


Pada mulanya pasien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya pasien berasal dari lingkungan yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kecemasan, dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain terutama dengan tokoh ibu. Dalam situasi lingkungan yang demikian, seorang anak tidak mungkin mempunyai penghayatan diri (self image) rasa percaya diri, menentukan identitas diri, mengembangkan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain dan mempelajari cara berhubungan dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman (Direktorat Kesehatan Jiwa, 1983).
Tanda – tanda menarik diri dilihat dari beberapa aspek :
a. Aspek fisik :

  • Makan dan minum kurang
  • Tidur kurang atau terganggu
  • Penampilan diri kurang
  • Keberanian kurang

b. Aspek emosi :
  • Bicara tidak jelas, merengek, menangis seperti anak kecil
  • Merasa malu, bersalah
  • Mudah panik dan tiba-tiba marah
c. Aspek sosial
  • Duduk menyendiri
  • Selalu tunduk
  • Tampak melamun
  • Tidak peduli lingkungan
  • Menghindar dari orang lain
  • Tergantung dari orang lain
d. Aspek intelektual
  • Putus asa
  • Merasa sendiri, tidak ada sokongan
  • Kurang percaya diri
Diagnosa Keperawatan :
  1. Resiko tinggi kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran
  2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kurangnya stimulus lingkungan.
  3. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri..
  4. Harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tidak efektif.
  5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan persepsi atau kognitif.

Tuesday, May 21, 2013

PROGRAM SERTIFIKASI PERAWAT KEAHLIAN KHUSUS ( Materi Dasar Keperawatan )

    Program sertifikasi perawat keahlian khusus.

    Bermacam-macam program sertifikasi saat ini mulai berkembang dalam tatanan layanan keperawatan, khususnya pada bidang keperawatan medikal bedah misalnya sertifikasi perawat luka oleh INETNA, sertifikasi perawat anastesi, perawat emergency, perawat hemodialisa, perawat ICU, perawat ICCU, perawat instrument OK. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah standarisasi setiap sertifikasi sudah sesuai dengan kompetensi perawat profesional karena menurut analisa kami program tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa arahan yang jelas dari organisasi profesi dan terkesan hanya proyek dari lembaga-lembaga tertentu saja.

    Berdirinya organisasi profesi keperawatan kekhususan

    Sejak diakuinya perawat sebagai profesi yang profesional, saat ini mulai bermunculan organisasi profesi perawat kekhususan dalam keperawatan medikal bedah, misalnya HIPKABI (Himpunan Perawat Kamar Bedah Indonesia), InETNA (Indonesia Enterostomal Therapy Nursing Association), IOA (Indonesia Ostomy Association), dan sebagainya. Hal ini akan menjadi sarana bagi perawat untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih profesional dalam bidang garapan tertentu, namun demikian akan timbul permasalahan karena jenis keperawatan akan menjadi lebih bervariasi dan berdampak lebih luas pada organisasi keperawatan lebih luas karena akan terkesan terpetak-petak. Selain itu standar dari masing-masing kekhususnan belum jelas.

    KOMENTAR KELOMPOK (Materi Dasar Keperawatan)

    Berdirinya beberapa organisasi keperawatan keahlian khusus merupakan kemajuan ilmu keperawatan dan pertanda diterimanya profesi keperawatan oleh masyarakat yang dimana organisasi tersebut akan melindungi para perawat keahlian khusus dan melalui organisasi itu pula mereka akan dapat mengembangkan pengetahuan dibidang kelimuannya masing-masing.

    Namun tidak mudah untuk mencapai semua itu, karena pendidikan keperawatan keahlian khusus yang kurang memadai khusunya di indonesia keberadaan profesi keperawatan yang masih belum memiliki undang-undang keperawatan dan tenaga perawat yang terkesan sebagai ”asisten” dokter. Menjadikan profesi keperawatan di indonesia jalan ditempat.

    Selain itu sistem sertifikasi perawat keahlian khusus belum tertata dengan baik, standarisasi sertifikasi setiap keahlian masih dipertanyakan. Hal ini akan menjadi suatu permasalahan yang serius karena jika para perawat kehlian khusus tidak memiliki kompetensi yang baik dibidangnya akan mencoret citra organisasi keperawatan. Peran organisasi keperawatan dalam hal ini PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dipertanyakan dan dituntut untuk segera memperbaiki system sertifikasi perawat keahlian khusus dan sisterm yang lainnya.

 Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah ( Materi Dasar Keperawatan )
    1. Pengertian
    Perawatan kesehatan di rumah merupakan salah satu jenis dari perawatan jangka panjang (Long term care) yang dapat diberikan oleh tenaga profesional maupun non profesional yang telah mendapatkan pelatihan. Perawatan kesehatan di rumah yang merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan adalah suatu komponen rentang pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan serta memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit termasuk penyakit terminal. Pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individual dan keluarga, direncanakan, dikoordinasi dan disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi home care melalui staf atau pengaturan berdasarkan perjanjian atau kombinasi dari keduanya (Warhola C, 1980).
    Sherwen (1991) mendefinisikan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian integral dari pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat mencapai kemandirian dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang mereka hadapi. Sedangkan Stuart (1998) menjabarkan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian dari proses keperawatan di rumah sakit, yang merupakan kelanjutan dari rencana pemulangan (discharge planning), bagi klien yang sudah waktunya pulang dari rumah sakit. Perawatan di rumah ini biasanya dilakukan oleh perawat dari rumah sakit semula, dilaksanakan oleh perawat komunitas dimana klien berada, atau dilaksanakan oleh tim khusus yang menangani perawatan di rumah.

    Menurut American of Nurses Association (ANA) tahun 1992 pelayanan keseatan di rumah adalah perpaduan perawatan kesehatan masyarakat dan ketrampilan teknis yang terpilih dari perawat spesialis yang terdiri dari perawat komunitas, perawat gerontologi, perawat psikiatri, perawat maternitas dan perawat medikal bedah. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan perawatan kesehatan di rumah adalah :
     Suatu bentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif bertujuan memandirikan klien dan keluarganya,
     Pelayanan kesehatan diberikan di tempat tinggal klien dengan melibatkan klien dan keluarganya sebagai subyek yang ikut berpartisipasi merencanakan kegiatan pelayanan,
     Pelayanan dikelola oleh suatu unit/sarana/institusi baik aspek administrasi maupun aspek pelayanan dengan mengkoordinir berbagai kategori tenaga profesional dibantu tenaga non profesional, di bidang kesehatan maupun non kesehatan (Depkes, 2002).

    Pelayanan keperawatan yang diberikan meliputi pelayanan primer, sekunder dan tersier yang berfokus pada asuhan keperawatan klien melalui kerjasama dengan keluarga dan tim kesehatan lainnya. Perawatan kesehatan di rumah adalah spektrum kesehatan yang luas dari pelayanan sosial yang ditawarkan pada lingkungan rumah untuk memulihkan ketidakmampuan dan membantu klien yang menderita penyakit kronis (NAHC, 1994).

    Menurut Departemen Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa home care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.

    Pelayanan diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien atau keluarga yang direncanakan dan dikoordinasi oleh pemberi pelayanan melalui staf yang diatur berdasarkan perjanjian bersama. Sedangkan menurut Neis dan Mc Ewen (2001) menyatakan home health care adalah sistem dimana pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial diberikan di rumah kepada orang-orang yang cacat atau orang-orang yang harus tinggal di rumah karena kondisi kesehatannya.

    Lanjutan :Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah
    3. Manfaat pelayanan home care
    Berbagai keuntungan dari pelayanan home care bagi klien menurut Setyawati (2004) antara lain:
    1) Pelayanan akan lebih sempurna, holistik dan komprehensif
    2) Pelayanan keperawatan mandiri bisa diaplikasikan dengan di bawah naungan legal dan etik keperawatan
    3) Kebutuhan klien akan dapat terpenuhi sehingga klien akan lebih nyaman dan puas dengan asuhan keperawatan yang profesional
    4. Ruang lingkup pelayanan home care ( Materi Dasar Keperawatan )
    Menurut Nuryandari (2004) menyebutkan ruang lingkup pelayanan home care adalah: pelayanan medik; pelayanan dan asuhan keperawatan; pelayanan sosial dan upaya menciptakan lingkungan terapeutik; pelayanan rehabilitasi medik dan keterapian fisik; pelayanan informasi dan rujukan; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kesehatan; higiene dan sanitasi perorangan serta lingkungan; pelayanan perbantuan untuk kegiatan sosial.
    5. Bentuk pelayanan home care ( Materi Dasar Keperawatan )
    Berbagai bentuk pelayanan home care yang dapat dilakukan di rumah. Tindakan tersebut antara lain: pengukuran tanda-tanda vital; pemasangan atau penggantian selang lambung (NGT); pemasangan atau penggantian kateter; pemasangan atau penggantian tube pernafasan; perawatan luka dekubitus atau ulcer dan jenis luka lainnya; penghisapan lendir dengan atau tanpa mesin; pemasangan peralatan oksigen; penyuntikan (IM, IV, Sub kutan); pemasangan atau penggantian infus; pengambilan preparat laboratorium (urin, darah, tinja, dll); pemberian huknah; perawatan kebersihan diri (mandi, keramas, dll); latihan atau exercise, fisioterapi, terapi wicara, dan pelayanan terapi lainnya; transportasi klien; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perawatan kesehatan; konseling pada kasus-kasus khusus; konsultasi melalui telepon; memfasilitasi untuk konsultasi ke dokter; menyiapkan menu makanan; menyiapkan dan membersihkan tempat tidur; memfasilitasi terhadap kegiatan sosial atau mendampingi; memfasilitasi perbaikan sarana atau kondisi kamar atau rumah.

    Lanjutan :Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah ( Materi Dasar Keperawatan )
    6.Pemberi pelayanan home care
    Pelayanan kesehatan ini diberikan oleh para professional yang tergabung dalam tim home care. tim home care tersebut antara lain:
    1) Kelompok profesional kesehatan, termasuk di dalamya adalah ners atau perawat profesional, dokter, fisioterapis, ahli terapi kerja, ahli terapi wicara, ahli gizi, ahli radiologi, laboratorium, dan psikolog.
    2) Kelompok profesional non kesehatan, yaitu pegawai sosial dan rohaniawan atau ahli agama.
    3) Kelompok non profesional, yaitu nurse assistant yang bertugas sebagai pembantu yang menunggu untuk melayani kebutuhan atau aktivitas sehari-hari dari klien. Kelompok ini bekerja di bawah pengawasan dan petunjuk dari perawat.
    Sedangkan menurut Allender (1997) pemberi pelayanan dalam home health care meliputi: 1) pelayanan keperawatan dapat diberikan oleh registered nurse, perawat vokasional, pembantu dalam home health yang disupervisi oleh perawat; 2) suplemental therapiest meliputi terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasional, dan terapi rekreasi; 3) pelayanan pekerja sosial

 Lanjutan :Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah (Materi Dasar Keperawatan )
    7. Perkembangan Perawatan Kesehatan di Rumah
    Sejauh ini bentuk-bentuk pelayanan kesehatan yang dikenal masyarakat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Pada sisi lain banyak anggota masyarakat yang menderita sakit karena berbagai pertimbangan terpaksa dirawat di rumah dan tidak dirawat inap di institusi pelayanan kesehatan. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan perawatan kesehatan di rumah adalah :

     Kasus-kasus penyakit terminal dianggap tidak efektif dan tidak efisien lagi apabila dirawat di institusi pelayanan kesehatan. Misalnya pasien kanker stadium akhir yang secara medis belum ada upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kesembuhan,

     Keterbatasan masyarakat untuk membiayai pelayanan kesehatan pada kasus-kasus penyakit degeneratif yang memerlukan perawatan yang relatif lama. Dengan demikian berdampak pada makin meningkatnya kasus-kasus yang memerlukan tindak lanjut keperawatan di rumah. Misalnya pasien pasca stroke yang mengalami komplikasi kelumpuhan dan memerlukan pelayanan rehabilitasi yang membutuhkan waktu relatif lama,

     Manajemen rumah sakit yang berorientasi pada profit, merasakan bahwa perawatan klien yang sangat lama (lebih 1 minggu) tidak menguntungkan bahkan menjadi beban bagi manajemen,

     Banyak orang merasakan bahwa dirawat inap di institusi pelayanan kesehatan membatasi kehidupan manusia, karena seseorang tidak dapat menikmati kehidupan secara optimal karena terikat dengan aturan-aturan yang ditetapkan,

     Lingkungan di rumah ternyata dirasakan lebih nyaman bagi sebagian klien dibandingkan dengan perawatan di rumah sakit, sehingga dapat mempercepat kesembuhan (Depkes, 2002).

    Perawatan kesehatan di rumah bertujuan :

    1. Membantu klien memelihara atau meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidupnya,

    2. Meningkatkan keadekuatan dan keefektifan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah kesehatan dan kecacatan,

    3. Menguatkan fungsi keluarga dan kedekatan antar keluarga,

    4. Membantu klien tinggal atau kembali ke rumah dan mendapatkan perawatan yang diperlukan, rehabilitasi atau perawatan paliatif,

    5. Biaya kesehatan akan lebih terkendali.

    Secara umum lingkup perawatan kesehatan di rumah dapat di kelompokkan sebagai berikut :

    1. Pelayanan medik dan asuhan keperawatan

    2. Pelayanan sosial dan upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik

    3. Pelayanan rehabilitasi dan terapi fisik

    4. Pelayanan informasi dan rujukan

    5. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kesehatan

    6. Higiene dan sanitasi perorangan serta lingkungan

    7. Pelayanan perbaikan untuk kegiatan sosial

    Menurut Rice R (2001) jenis kasus yang dapat dilayani pada perawatan kesehatan di rumah meliputi kasus-kasus yang umum pasca perawatan di rumah sakit dan kasus-kasus khusus yang di jumpai di komunitas.

  Kasus umum yang merupakan pasca perawatan di rumah sakit adalah:
    • Klien dengan penyakit obstruktif paru kronis,
    • Klien dengan penyakit gagal jantung,
    • Klien dengan gangguan oksigenasi,
    • Klien dengan perlukaan kronis,
    • Klien dengan diabetes,
    • Klien dengan gangguan fungsi perkemihan,
    • Klien dengan kondisi pemulihan kesehatan atau rehabilitasi,
    • Klien dengan terapi cairan infus di rumah,
    • Klien dengan gangguan fungsi persyarafan,
    • Klien dengan HIV/AIDS.

    Sedangkan kasus dengan kondisi khusus, meliputi :

    • Klien dengan post partum,

    • Klien dengan gangguan kesehatan mental,

    • Klien dengan kondisi usia lanjut,

    • Klien dengan kondisi terminal.



    Pemakaian tap water (air keran) dan betadine yang diencerkan pada luka.

    Beberapa klinisi menganjurkan pemakaian tap water untuk mencuci awal tepi luka sebelum diberikan NaCl 0,9 %. Hal ini dilakukan agar kotoran-kotoran yang menempel pada luka dapat terbawa oleh aliran air. Kemudian dibilas dengan larutan povidoneiodine yang telah diencerkan dan dilanjutkan irigasi dengan NaCl 0,9%. Akan tetapi pemakaian prosedur ini masih menimbulkan beberapa kontroversi karena kualitas tap water yang berbeda di beberapa tempat dan keefektifan dalam pengenceran betadine. Belum ada dokumentasi keperawatan yang baku sehingga setiap institusi rumah sakit mengunakan versi atau modelnya sendiri-sendiri,

    Komentar dari kelompok kami adalah adanya issue tentang pemakain tap water pada perawatn luka di rumah sakit hendaknya lebih di koreksi lagi baik dari segi kesterilan dan higienisan kualitas tap water pada setiap rumah sakit. Metode sebenarnya mempermudah kerja perawat dalam melaksanakan asuhan pada pasien rawat luka, namun dari beberapa segi kualitas yang berbeda pada tiap rumah sakit menjadikan asuhan keperawatn yang dilaksanakan menjadi membingungkan. Untuk itu perlu adanya pengawasan dari tenaga kesehatan yang intensif dalam pelaksanaan asuhan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan asuhan .



    MAKALAH KMB I

    “DOKUMENTASI KEPERAWATAN YANG BAKU SEHINGGA SETIAP INSTITUSI RUMAH SAKIT MENGGUNAKAN VERSI ATAU MODELNYA SENDIRI - SENDIRI”

    Dokumentasi Keperawatan merupakan suatu kumpulan dokumen yang mencatat semua pelayanan keperawatan klien yang mempunyai banyak manfaat dan penggunaan. Kegiatan pendokumentasiaan ini meliputi keterampilan berkomunikasi, keterampilan mendokumentasikan proses keperawatan, dan keterampilan standar. Perawat perlu memberikan prioritas terhadap ketempilan tersebut.

    Praktik keperawatan medikal bedah tumbuh terutama sebagai keperawatan bagi orang yang telah mencapai kedewasaan jasmani atau telah berkembang, bagi yang beresiko atau mengalami variasi norma yang ditentukan mengenai fungsi fisik dan yang membutuhkan intervensi pengobatan medikal atau bedah.
    Dokumentasi asuhan keperawatan medikal bedah terdiri dari:

    1. Pengkajian
    2. Diagnosa
    3. Perencanaan
    4. Implementasi
    5. Evaluasi

    a. Trend Keperawatan Medikal Bedal Bedah dan Dampaknya di Indonesia.
    Beberapa trend yang terjadi dalam Keperawatan Medikal Bedah di Indonesia, diantaranya adalah: telenursing, Prinsip Moisture Balance dalam Perawatan Luka, Pencegahan HIV-AIDS pada Remaja dengan Peer Group, Program sertifikasi perawat keahlian khusus, Hospice Home Care, One Day Care, Klinik HIV, Klinik Rawat Luka, Berdirinya organisasi profesi keperawatan kekhususan, Pengembangan Evidence Based Nursing Practice di Lingkungan Rumah Sakit dalam Lingkup Keperawatan Medikal Bedah. Disadari bahwa semua trend tersebut belum seutuhnya diterapkan dalam pelayanan keperawatan di seluruh Indonesia.
    b. Isu dalam Keperawatan Medikal Bedah dan Dampaknya di Indonesia

    Beberapa isue yang berkembang dalam Keperawatan Medikal Bedah di Indonesia, antara lain: Pemakaian tap water (air keran) dan betadine yang diencerkan pada luka, Belum ada dokumentasi keperawatan yang baku sehingga setiap institusi rumah sakit mengunakan versi atau modelnya sendiri-sendiri, Prosedur rawat luka adalah kewenangan dokter, Euthanasia: suatu issue kontemporer dalam keperawatan, Pengaturan sistem tenaga kesehatan, Lulusan D3 Keperawatan lebih banyak terserap di Rumah sakit pemerintah dibandingkan S1, dan Peran dan tanggung jawab yang belum ditetapkan sesuai dengan jenjang pendidikan sehingga implikasi di rs antara DIII, S1 dan Spesialis belum jelas terlihat.

Belum adanya dokumentasi keperawatan yang baku menyebabkan setiap rumah sakit menggunakan model dokumentasi keperawatan sendiri-sendiri,itu hanya isu dalam Keperawatan Medikal Bedah. dokumentasi keperawatan sangat penting untuk bukti ,perawat telah melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, jadi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,dokumentasi keperawatan dapat digunakan.untuk itu dokumentasi keperawatan seharusnya ada :
    1.Pengkajian
    2. Diagnosa
    3. Perencanaan
    4. Implementasi
    5. Evaluasi

  2. fakta-fakta yang terjadi di lapangan
    a. Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Ini disebabkan rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan lemah berbahasa asing. Padahal setiap tahun, dari 770 sekolah perawat yang ada di Indonesia, lulusannya mencapai 25 ribu perawat. Ironisnya, data WHO 2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa, Australia dan Timur Tengah. (Arifin Badri).
    b. Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari pihak rumah sakit “mereka sendiri yang datang minta magang”. Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur sayang, magang di rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa.
    3. Komentar kelompok kami
    Seharusnya untuk keunggulan S1 lebih ditingkatkan , baik secara kualitatif sebagai tenaga ahli menengah memiliki kemampuan teknis, ketrampilan dan profesionalitas yang kuat, maupun secara kuantitatif menempati posisi strategis dan proporsi yang cukup besar dalam struktur ketenaga kerjaan di Indonesia, sehingga lulusan program ini lebih mudah diserap di pasar kerja.Karena S1 tingkatannya lebih tinggi dibandingkan D3, apalagi dengan isu – isu

 KASUS PERDARAHAN

1. Abortus
2. Kehamilan ektopik terganggu
3. Mola hidratidosa
4. Placenta previa
5. Abruptio placenta
6. Inversi atau Ruptur uteri
7. Atonia uteri
8. Ruptur perineum & robekan dinding vagina
9. AMNIOTIC FLUID EMBOLISM
10. Retensio plasenta
11. rolapse of the umbilical cord
12. Shoulder dystocia
E. INFEKSI & SEPSIS
1. Infeksi dlm kehamilan:
a. Virus varicella,
b. influenza,
c. toksoplasmosisherpes genitalia
2. Infeksi dlm persalinan:
a. korioamnionitis
3. Infeksi nifas :
a. metritis,
b. tromboplebitis
F. MANIFESTASI KLINIS
Untuk masing-masing ksus berbeda dng rentang waktu yg luas, perdarahan dpt bermanifestasi dari perdarahan berwujud bercak merembes profus s/d shockInfeksi & sepsis, bermanifestasi mulai dr pengeluaran cairan pervaginam yg berbau, air ketuban hijau, demam s.d shock. Pre eklamsi & eklamsi, mulai dr keluhan sakit kepala / pusing, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, tidak sadar s/d koma
G. Diagnosis
In a hospital or other urgent care facility. patient's medical history and perform a pelvic and general physical examination.The mother's vital signs, if preeclampsia is suspected, blood pressure may be monitored over a period of time. The fetal heartbeat is assessed with a doppler stethoscope, and diagnostic blood and urine tests: protein and/or bacterial infection.
An abdominal ultrasound: malpositioned placenta, such as placenta previa or placenta abruption.

II. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)
A. DEFINISI (Materi Dasar Keperawatan)
KET adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi , implantasi terjadidiluar endometrium kavum uteri.KET dpt mengalami abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi dan peristiwa ini disebut sbg KET
B. TANDA & GEJALA
1. Gejala kehamilan muda & abortus imminens
2. Pucat / anemia
3. Keadaan umum lemah, terjadi penurunan lesadaran
4. Shock
5. Nyeri tekan
6. Nyeri perut bagian bawah yang makin hebat apabila tubuh digerakan

C. PENANGANAN KET
1. Pemeriksaan fisik, tes kehamilan, anamnesa untuk menegakan diagnosa KET
2. Setelah terdiagnosa KET, segera lakukan persiapan operasi gawat darurat
3. Sediakan darah
4. Upayakan stabilisasi pasien dengan terapi cairan
5. Kendalikan nyeri pasca tindakan konseling pasca tindakan .
III. RUPTUR UTERI , Ruptur uteri merupakan komplikasi yang sangat fatal
A. DEFINISI
Robekan dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium yang disebabkan oleh disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik

B. TANDA & GEJALA KLINIS
1. Didahului oleh lingkaran konstriksi ( Bandl’s ring) hingga umbilikus atau diatasnya
2. Nyeri hebat pada perut bagian bawah
3. Hilangnya kontraksi & bentuk normal uterus gravidus
4. Perdarahan pervaginam dan shock

C. PENANGANAN RUPTUR UTERI

Penanganan dan pengenalan segera dan tepat pada kasus ini dapt menyelamatkan pasien dari kematian

1. Tindakan paling tepat : operasi laparatomi u/ menlahirkan anak & placenta

2. Resusitasi cairan untuk mengganti kehilangan darah

3. Pantau tanda vital & shock hipovolemik scr ketat

4. Bila konsenvasi uterus masih diperlukan & kondisi jaringan memungkinkan, dilakukan tindakan operasi uterus

5. Bila luka mengalami nekrosis luas & kondisi pasien menghawatirkan dilakukan histerektomi

6. Pemantauan ketat KU, TV, perdarahan, kesadaran, shock, lab dll , pasca operasi

IV. ABRUPTIO PLACENTA

A. DEFINISI (Materi Dasar Keperawatan)

Suatu keadaan dimana plasenta terlepas dari dinding dalam uterus sebelum bayi lahirMerujuk pada terlepasnya plasenta yg terletak pada posisi normalnyan setelah minggu ke 20 kehamilan dan utamanya pada saat kelahiran.

B. Statistik

Prev di dunia sekitar 1% dari seluruh kehamilan di dunia.

C. Mortalitas/mordibitas:

Kematian IBU dan JANIN dapat terjadi krn PERDARAHAN dan KOAGULOPATI.

Kematian bayi stlh lahir sekitar 15%

D. Klasifikasi

Berat ringanya komplikasi abruptio placenta tergantung pada : jumlah perdarahan, derajat lepasnya placenta, ukuran bekuan darah yang terbentuk pada permukaan placenta maternal.

Ada beberapa sistem pengklasifikasian derajat abruptio placenta, salah satunya adalah dng pembagian :

1. RINGAN

<> 2/3 bagian placenta terlepas dr uterus yang menyebabkan kaku & kencangnya uterus terus-menerus yang disertai nyeri berat. Perdarahan hitam pervaginam + ( > 1000 cc ), terkadang perdarahan tidak terjadi. Distres fetus mulai terjadi dan jika fetus tidak dilahirkan kematian tidak dpt dielakan. Terlepasnya plasenta menyebabkab ibu mengalami shock, kematian fetus, nyeri hebat dan kemungkinan berkembangnya DIC ( disseminated intravaskular coagulation )

E. Causes

1. Perdarahan retroplasenta karena penusukan jarum

2. Hamil pada usia tua

3. idiopatik

4. Fibromioma retroplacenta

5. Hipertensi maternal

6. Maternal trauma

7. Ibu perokok

8. Penggunaan kokain

9. Tali pusat pendek

10. Dekompresi pd uterus yg tiba-tiba

F. FAKTOR PREDISPOSISI

1. Kondisi yg berhubungan dng abruptio placenta :

2. PIH ( pregnancy induced hypertension ) atau hipertensi kronik (140 / 90 mmhg )

3. Ruptur prematur dari membran <> 35 th, anomali uterus fibroid dan penyakit vaskuler misalnya DM atau penyakit colagen. Trauma eksternal ( misal kecelakaan )

4. Resiko akibat perilaku misalnya merokok, mengkonsumsi ethanol, kokain, methemphetamin

5. Riwayat abruptio placenta

6. Dekompresi cepat dr distensi yg berlebihan misal pd gestasi ganda, polihidramnion

7. Defisiensi asam folat ( jarang terjadi )

8. Riwayat

9. Ps biasanya memperlihatkan gejala :

10. Perdarahan Vaginal (80%)

11. Nyeri Abdomen / back pain dan kekakuan uterus (70%)

12. Fetal distress (60%)

13. Kontraksi abdomen Abnormal (hipertonik, frek tinggi) (35%)

14. Idioaphic prematur labor (25%)

15. Kematian Fetus (15%)

G. TANDA & GEJALA

1. Sangat tergantung pd luas / jumlah plasenta yg

2. lepas dan tipe abruptio

3. Sangat bervariasi

4. Tanda klasik kejadian akut “ knife like “ abdominal pain dng atau tanpa perdarahan pervaginam

5. AP ringan, gejalanya dpt spt nyeri melahirkan

6. AP berat nyeri dpt terjadi tiba-tiba & spt ditusuk pisau

7. Jika tjd perdarahan abdomen mjd membesar & uterus kaku. Abdomen spt “ board-like”

8. A couvelaire uterus s/d shock pd ibu

9. Perdarahan pervaginam ( pd 80% penderita )

10. Fetal distres s/d meninggal

H. Uji diagnostik

1. Lab

• Hb

• Ht

• Platelet

• Prothrombin/ aptt

• Fibrinogen

• Fibrin

• D-dimer

• Gol darah

2. USG

• Prehospital management

• Mon TV kontinyu

• O2 kontinyu-high flow

• IV line (1-2 jalur ): NaCl / RL

• Mon perdarahn vagina

• Mon DJJ

• Terapi shock jk diperlukan

3. ED

• Observasi ketat

• O2 tinggi

• DJJ mon

• IV-cairan

• Resusc cairan K?P

• Mon TV- U/O

• PRC- 4 unit disiapkan

• Mon penurunan tekanan intrauterin

• Seceparnya operasi SC

• Kolaborasi terapi DIC

I. PENATALAKSANAAN

Bervariasi tergantung : umur gestasi fetus, beratnya abruptio, komplikasi yg berhubungan, status ibu & fetus.

1. jk perdarahan banyak & tidak dpt dikontrol dilakukan persalinan yg tepat

2. Penentuan persalinan cepat tergantung pd beratnya abruptio placenta dan janin hidup / mati

3. AP berat dng atau tanpa perdarahan pervaginam dilakukan operasi sesar

4. Kehamilan dibawah 37 minggu penatalaksanaanya diyujukan pd memperpanjang kehamilan dengan harapan maturitas fetus

5. Jika fetus immatur dan tidak memperlihatkan kompresi fetus serta perdarahan pd ibu tidak menyebabkan hipovolemiadilakukan observasi ketat scr dini.

6. Fungsi koagulasi & status vilume obu baik tp terdapat distress fetus persalinan dilakukan dng cara yg aman.

V. PRE EKLAMSI & EKLAMSI ( Materi Dasar Keperawatan)

A. PRE EKLAMSI

Diagnosa pre eklamsi didasarkan pd berkembangnya pregnancy- induced hypertension dengan proteinuria, edema atau keduanya setelah 20 minggu kehamilan. Pre eklamsi dpr diklasifikasikan berat jika terdapat satu atau lebih gejala dibawah ini :

1. Pd keadaan istirahat TD sistolik ³ 160 mmhg atau diastolik 110 mmhg yg terjadi dua kali minimal dlm waktu 6 juam.

2. Proteinuria ³ 5 gr / 24 jam

3. Oliguria <> disukai IV , loading dose 4 mg dilanjutkan IV 1 - 2

2. KONTROL TEKANAN DARAH

tujuan terapi adalah menurunkan tekanan darah sistemik sapai pd titik dimana ststua ibu stabil. Tidak harus menurunkan sampai normal.

3. TERAPI SUPPORTIF

Pada pre eklamsi berat sering terjadi edema paru cadiac dan noncardiac. Terapi olsigen diberikan u/ mempertahankan PaO2 > 70 mmhg u/ mempertahankan oksigenasi fetus. K/P intubasi challengec cairan IV sebaiknya diberikan. Jk tidak berhasil lakukan monitoring hemodinamik invasif. Jk IV volume adekuat terapi vasodelator dpt membantu, monitoring ketat tanda vital, hemodinamik,status neurologis, kondisi janin, oksigenasi, dll.

4. HELLP SYNDROME

a. H = HEMOLISIS, an abnormal peripheral smear, total bilirubin > 1,2 mg/dl, atau kadar serum lactat dehydrogenase ( LDH ) > 600 U/L

b. EL=elevated lever enzym, aspartate aminotransferase ( AST) > 70 U/L atau LDH > 600U/L dan

c. LP= low platelet count - < 100,000/mm3

• Mengidentifikasi adanya kondisi kehamilan yg BERAT & MENGANCAM KEHIDUPAN

• Variasi sindroma ini mungkin tida melibatkan seluruh gejala diatas. Dapat muncul dng tanda yang tidak spesifik seperti nyeri epigastrum atau nyeri kuadran kanan bawah, malaise, mual, muntah,.

• Umumnya terjadi pada usia kehamilan 27 – 36 mg.

• pre eklamsi / eklamsi umumnya mendahului HELLP syndrome tapi 1/3 ps tidak mengalami hipertensi.

• Merupakan bagian dari fibrolisis atau hemolisis dr pre eklamsi trombositopenia DIC, perdarahan ntraserebral, gagal ginjal,

• Terkadang gejalanya dikacaukan dengan acute fatty liver in pregnancy

• Tidak merupakan indikasi persalinan namun demgan meningkatnya mordibitas fetus & maternal diperlukan persalinan yg tepat. Terapi hampir sama dengan pre eklamsi berat / eklamsi.

VI. AMNIOTIC FLUID EMBOLISM

A rare but frequently fatal complication of labor occurs when amniotic fluid embolizes from the amniotic sac and through the veins of the uterus and into the circulatory system of the mother. The fetal cells present in the fluid then block or clog the pulmonary artery, resulting in heart attack. This complication can also happen during pregnancy, but usually occurs in the presence of strong contractions.

VII. PROLAPSED UMBILICAL CORD

A prolapse of the umbilical cord occurs when the cord is pushed down into the cervix or vagina. If the cord becomes compressed, the oxygen supply to the fetus could be diminished, resulting in brain damage or possible death.

VIII. SHOULDER DYSTOCIA

Shoulder dystocia occurs when the baby's shoulder(s) becomes wedged in the birth canal after the head has been delivered.

INTOKSIKASI

Penyebab intoksisasi ada banyak macam, yang sering terjadi adalah karena kecelakaan atau, disengaja / bunuh diri. Di Amerika intoksikasi ± 75% terjadi pada anak umumnya karena keracunan produk rumah tangga

A. Agen Intoksikasi

Terjadi pada semua umur remaja: obat-obat psikotropik, sedative, transqualizer, antidepresan dan obat-obat narkotik. dewasa umumnya karena kecelakaan kerja (karbon monoksida, pestisida, keracunan makanan, dll)

B. Mekanisme

Mekanisme cidera masing-masing racun memiliki efek patologis yang berbeda-beda dimana masing masing racun memiliki patologi sendiri-sendiri. Efek racun dapat terjadi pada tempat atau sekitar masuknya racun (misalnya reaksi kimia sitotoksin) dan dapat berupa toksisitas sistemik yaitu efek-efek selektif racun atau efek metabolik khusus dari racun itu terhadap target yang spesifik misalkan asetaminofen di liver, methanol diretina, dll.

C. Pengkajian Prioritas Utama

1. Pengkajia riwayat kejadian, tanyakan pada pengantar pasien/pasien sendiri jika kooperatif.

2. Pengjakian fisik : Initial assessment/ Arway- Breathing- Cirkulating ( ABC)

a. Tingkat kesadaran

b. Pernafasan dan efektifitas nafas

c. Irama jantung

d. Ada tidaknya kejang

e. Keadaan dan warna kulit

f. Besar dan reaksi pupil mata

g. lesi, bau mulut, dan lainnya

Terkadang setelah mendapatkan resusitasi (ABC) sering dilanjutkan dengan perawatan suportif di ICU dan dilakukan pengeluaran zat penyebab dari tubuh serta mungkin diperlukan antidotumnya.

Jika didapat pasien tidak sadar dengan penyebab yang Belum jelas, perlu selalu difikirkan adanya kemungkinan intoksikasi. tindakan pertama:menjaga jalan nafas, oksigen ( biasanya tidak kurang dari 6 lt / menit), K/p bantuan nafas, IV line, kemudian cek seluruh tubuh adanya tanda-tanda kemungkinan mendapat obat atau racun, periksa adanya bekas suntikan, zat terminum bau nafas dan lainnya dan perkirakan juga kemungkinan terjadinya hipoglikemi.

D. Evaluasi/outcome umum pd intoksikasi

Stabilisasi & menigkatnya kardiorespirasi, kriteria :

sistolik 100mmHg, nadi 60 – 100X / menit, irama reguler respirasi 24 X/ menit, tidak ada rales, tidak ada wheezing meningkatnya kesadaran

1. Carbon Monoxide Poisoning

Carbon monoxide (CO), is a colorless, odorless, toxic gas that is a product of incomplete combustion. Motor vehicles, heaters, appliances that use carbon based fuels, and household fires are the main sources of this poison.

2. Carbon monoxide (CO)

Carbon monoxide (CO) intoxication is the leading cause of death due to poisoning in the United States and also the most common cause of death in combustion related inhalation injury. The incidence of non-lethal CO poisoning is not well established nor is that of unrecognized CO poisonin. Mortality rates as high as 31% have been reported in large series

3. Agent

Most immediate deaths from building fires are due to CO poisoning and therefore, fire fighters are at high risk.

a. Exogenous Sources of CO

b. Car exhaust fumes

c. Furnaces

d. Gas-powered engines

e. Home water heaters

f. Paint removers containing methylene chloride

g. Pool heaters

h. Smoke from all types of fire

i. Sterno fuel

j. Tobacco smoke

k. Wood stoves

E. Pathophysiology

In patients who die early following CO poisoning the brain is edematous, and there are diffuse petechia and hemorrhages. If the victim survives initially but dies within a few weeks, findings typical of ischemic anoxia are prominent. Interestingly, the severity of the lesions appears to correlate best with the degree of hypotension rather than with hypoxia.

1. Hypoxia and cellular asphyxia

CO combines preferentially with hemoglobin to produce COHb, displacing oxygen and reducing systemic arterial oxygen (O2) content. CO binds reversibly to hemoglobin with an affinity 200- 230 times that of oxygen. Consequently, relatively minute concentrations of the gas in the environment can result in toxic concentrations in human blood. Possible mechanisms of toxicity include: decrease in the oxygen carrying capacity of blood. Alteration of the dissociation characteristics of oxyhemoglobin, further decreasing oxygen delivery to the tissues. Decrease in cellular respiration by binding with cytochrome a3. Binding to myoglobin, potentially causing myocardial and skeletal muscle dysfunction.

2. Ischemia.

In addition to causing tissue hypoxia, CO can cause injury by impairing tissue perfusion, indicate that myocardial depression, peripheral vasodilation, and ventricular arrhythmia causing hypotension may be important in the genesis of neurologic injury.

3. Reperfusion injury

Many of the pathophysiologic changes are similar to those seen with postischemic reperfusion injuries, and similar pathology occurs in the brain in the absence of CO when hypoxic hypoxia precedes an interval of ischemia.

F. Symptomatology

Many victims of CO poisoning die or suffer permanent, severe neurological injury despite treatment. In addition, as many as 50% of those who recover consciousness and survive may experience varying degree of more subtle but still disabling neuropsychiatric sequela.

The features of acute CO poisoning are more dramatic than those resulting from chronic exposure. The clinical presentation of acute CO poisoning is variable, but in general, the severity of observed symptoms correlates roughly with the observed level of COHb:

COHb Levels and Symptomatology

a. 10% Asymptomatic or may have headaches

b. 20% Dizzyness, nausea, and syncope

c. 30% Visual disturbances

d. 40% Confusion and syncope

e. 50% Seizures and coma

f. 60% Cardiopulmonary dysfunction & death

G. Management

The mainstay of therapy for CO poisoning is supplemental O2, ventilatory support and monitoring for cardiac arrhythmias. There is general agreement that 100% oxygen should be administered prior to laboratory confirmation when CO poisoning is suspected. The goal of oxygen therapy is to improve the O2 content of the blood by maximizing the fraction dissolved in plasma (PaO2).36 Once treatment begins, O2 therapy and observation must continue long enough to prevent delayed sequelae as carboxymyoglobin unloads.

The most controversial and widely debated topic regarding CO poisoning is the use of hyperbaric oxygen (HBO). The most controversial and widely debated topic regarding CO poisoning is the use of hyperbaric oxygen (HBO) severe poisoning should be treated with 100% oxygen, with endotracheal intubation in patients who cannot protect their airway. In these patients, consideration should be given to transfusion of packed red blood cells.

H. Prognosis

30% of patients with severe poisoning have a fatal outcome.49 One study has estimated that 11% of survivors have long-term neuropsychiatric deficits, including 3% whose neurologic manifestations are delayed. One third of CO poisoning victims may have subtle but lasting memory deficits or personality changes.40. Indicators of a poor prognosis include altered consciousness at presentation, advanced age, patients with underlying cardiovascular disease, metabolic acidosis, and structural abnormalities on CT or MRI scanning.

Organophosphate and Carbamate Poisioning

Although OPC and carbamates are structurally distinct, they have similar clinical manifestations and generally the same management. Although most patients with OPC and carbamate poisoning have a good prognosis, severe poisoning is potentially lethal. Early diagnosis and initiation of treatment are important. The ED physician has access to a number of therapeutic options that can decrease morbidity and mortality.

I. Pathophysiology

OPCs and carbamates bind to 1 of the active sites of acetylcholinesterase (AChE) and inhibit the functionality of this enzyme by means of steric inhibition. The main purpose of AChE is to hydrolyze acetylcholine (ACh) to choline and acetic acid. Therefore, the inhibition of AChE causes an excess of ACh in synapses and neuromuscular junctions, resulting in muscarinic and nicotinic symptoms and signs.

Excess ACh in the synapse can lead to 3 sets of symptoms and signs. First, accumulation of ACh at postganglionic muscarinic synapses lead to parasympathetic activity of smooth muscle in lungs, the GI tract, heart, eyes, bladder, and secretory glands, and increased activity in postganglionic sympathetic receptors for sweat glands. This results in the symptoms and signs that can be remembered with the mnemonic SLUDGE/BBB. Second, excessive ACh at nicotinic motor end plates causes persistent depolarization of skeletal muscle (analogous to that of succinylcholine), resulting in fasciculations, progressive weakness, and hypotonicity. Third, as OPs cross the blood-brain barrier, they may cause seizures, respiratory depression, and CNS depression for reasons not completely understood.

J. Signs & Symptoms

Patients often present with evidence of a cholinergic toxic syndrome, or toxidrome. SLUDGE/BBB mnemonic :

S = Salivation

L = Lacrimation

U = Urination

D = Defecation

G = GI symptoms

E = Emesis

B = Bronchorrhea

B = Bronchospasm

B = Bradycardia

DUMBELS mnemonic

D = Diarrhea and diaphoresis

U = Urination

M = Miosis

B = Bronchorrhea, bronchospasm, and bradycardia

E = Emesis

L = Lacrimation

S = Salivation

K. Lab & Test

Serum cholinesterase and RBC AChE activity, which are used to estimate neuronal AChE activity. Other Tests: ECG, prolonged QTc interval is the most common ECG abnormality. Elevation of the ST segment, sinus tachycardia, sinus bradycardia, and complete heart block (rare) may also occur. (Sinus tachycardia occurs just as commonly as sinus bradycardia.)

L. Prehospital Care

Identification of the type of chemical is important. As a general rule, dimethyl OPCs undergo rapid aging, which makes early initiation of oximes critical. In comparison, diethyl compounds may cause delayed toxicity, and oxime therapy may need to be prolonged.

M. Emergency Department Care

1. ABC

Care of the ABCs should be initiated first because intubation may be necessary in cases of severe poisoning. Because succinylcholine is metabolized by means of plasma cholinesterase, OPC or carbamate poisoning may cause prolonged paralysis. Increased doses of nondepolarizing agents, such as pancuronium or vecuronium, may be required to achieve paralysis because of the excess ACh at the receptor.

Providers with appropriate personal protective equipment (PPE) can address the ABCs before decontamination atropine can precipitate ventricular fibrillation in hypoxic patients. Paradoxically, the early use of adequate atropine will dry respiratory secretions, improve muscle weakness and thereby improve oxygenation. The following should be monitored on a regular basis to assess the patient's respiratory status:

a. Respiratory rate
b. Tidal volume/ vital capacity
c. Neck muscle weakness
d. Ocular muscle involvement eg. diplopia
e. Arterial blood gas analysis

f. Cardiac monitoring, a wide range of cardiac manifestations can occur and careful haemodynamic and electrocardiac monitoring hypoxaemia, metabolic and electrolyte abnormalities can all contribute to cardiac arrhythmias. Some arrhythmias may require cardiac pacing.



2. Decontamination:

Important part of the initial care, decontamination depends on the route of poisoning. The patient's body should then be thoroughly washed with soap and water to prevent further absorption from the skin. Washing the poisioned person and removing contaminated clothes nosocomial poisoning in staff members treating patients who have been exposed to OPCs and carbamates; the odors often smelled when one cares for a patient poisoned from pesticide are commonly due to the hydrocarbon solvent, which may cause symptoms independent of the OPC agent. The patient's clothes must be removed and isolated, and his or her body washed with soap and water.GI decontamination: Oral administration of activated charcoal is a reasonable intervention after GI poisoning. Gastric emptying should then be considered if the patient presents within 1 hour of ingestion. Gastric lavage is the only means of emptying the stomach in unconscious patients in which case the airway needs to be protected.

3. Atropine

Atropine is a pure muscarinic antagonist that competes with ACh at the muscarinic receptor.

most commonly given in intravenous (IV) form at the recommended dose of 2-5 mg for adults and 0.05 mg/kg for kids with a minimum dose of 0.1 mg to prevent reflex bradycardia. Atropine may be redosed every 5-10 minutes. Severe OP poisonings often require hundreds of milligrams of atropine. In 1 case report, a patient required frequent doses of atropine and was eventually converted to an atropine infusion to a total of 30 g over 5 days.

Most sources recommend starting atropine on patients with anything more than ocular effects and then observing the drying of secretions as an endpoint in titrating to the appropriate dose. From the Tokyo sarin experience, patients poisoned by nerve agents had modest atropine requirements, with none requiring more than 10 mg. The recommended starting dose of atropine is a 2mg IV bolus. Subsequent doses of 2-5mg every 5-15 minutes should be administered until atropinization is achieved. The signs of adequate atropinization include an increased heart rate (>100 beats/min.), moderately dilated pupils, a reduction in bowel sounds, a dry mouth and a decrease in bronchial secretions.

4. Benzodiazepines

Seizures are an uncommon complication of OP poisoning. When they occur, they represent severe toxicity.

5. Other treatments magnesium and fresh-frozen plasma as adjunctive therapy. both must be evaluated. Nebulized ipratropium bromide as an adjunct agent.
N. Management of Organophosphorus compunds poisoning

1. Skin decontamination **
2. Airway protection if indicated **
3. Gastric lavage
4. Activated charcoal 0.5-1gm/kg every 4hr
5. Anticholinesterase: Atropine/glycopyrrolate **
6. Cholinesterase reactivator: Pralidoxine
7. Ventilatory support
8. Inotropic support
9. Benzodazepines ( if seizure) **
10. Feeding-enteral/parental

** = useful

O. Further Inpatient Care

Patients who require continuous monitoring or treatment should be admitted to the ICU. Patients with clinically significant poisoning should be evaluated frequently to monitor their airway and respiratory secretions. In addition, frequent neurologic examination should be performed to evaluate for neuromuscular blockade. Therapy is largely titrated to the physical findings. Atropinization is based on the drying of respiratory secretions, and oxime therapy is based on an improvement in neuromuscular signs. A toxicologist may be of help in determining specific aging and reactivation times of the particular OPC or carbamate agent.

P. Further Outpatient Care:

Patients without any symptoms and with questionable or minimal exposure to OPs or carbamates may be considered for discharge after 6-12 hours of observation. Patients with residual neurologic symptoms should be given a follow-up appointment with a neurologist. Follow-up with a psychiatrist should be arranged as indicated.

Q. Complications

1. Intermediate syndrome, Intermediate syndrome was first described in 1987 as a sudden respiratory paresis, with weakness in cranial nerves and proximal-limb and neck flexor muscles. These clinical features appear 24-96 hours after exposure and are distinct from the previously described delayed neurotoxicity (see below). Although intermediate syndrome is incompletely understood, more recent reports suggest this is due to presynaptic and postsynaptic dysfunction of neuromuscular transmission and that it may result from insufficient oxime treatment.

2. OPC-induced delayed neurotoxicity (OPCIDN), OPCIDN is a sensorimotor polyneuropathy that typically occurs 9-14 days after OP exposure. The patient initially presents with distal motor weakness and sensory paresthesias in the lower extremities, which may progress proximally and eventually affect the upper extremities. Most sources suggest the mechanism involves inhibition of neuropathy target esterase (NTE), an enzyme that metabolizes esters in nerve cells. Some patients may recover over 12-15 months, but permanent losses with spasticity and persistent upper motor neuron findings have been reported.

3. Pancreatitis, Pancreatitis has been reported as a rare complication. One case series reported that 12.76% of OP poisonings were associated with acute pancreatitis, though this has not been the experience in other series.

R. Prognosis

In severe poisoning, death usually occurs within the first 24 hours if it is untreated. With nerve-agent poisoning, death may occur within minutes if untreated. Even with adequate respiratory support, intensive care, and specific treatment with atropine and oximes, the mortality rate is still high in severe poisonings. A delay in treatment can also lead to late and permanent neurologic sequelae. Most patients with minimal symptoms fully recover.

S. Special Concerns

Pregnant women should receive the same treatment as that given to other adults. Both atropine and pralidoxime are class C drugs in pregnancy. In the Tokyo subway attacks, 5 pregnant women were mildly poisoned, and all had normal babies without complications.

Mata Kuliah KMB 1 S1 Keperawatan

Patofisiologi ablatio retina

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More